Modus polisi menggelar razia narkoba dan tes urine, sebelum meminta uang kepada penonton. ini kata orang Hukum

Perhelatan musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, 13 Desember 2024, TEMPO/Defara

Jakarta – Menyusul aksi Pemerasan terhadap Penondon DWP Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan pemerasan di DWP ini makin merusak citra polisi. Apalagi kasus ini menyeret warga negara asing yang merupakan tetangga Indonesia.

Chudry mengatakan pengambilan sampling tes urine tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Paling tidak, tindakan itu diawali oleh dua asumsi. Pertama, ada peristiwa khusus yang terjadi sebelumnya. Kedua, dilakukan di lokasi-lokasi tertentu yang memang rawan peredaran narkoba, seperti klub malam atau tempat karaoke.

Apabila tidak ada kedua unsur itu, Chudry menyebutkan sampling tes urine hanya mengada-ada. Misalnya, tiba-tiba menggelar razia narkotik di mal padahal tidak ada peristiwa khusus yang mengawali. Razia di mal menjadi masuk akal bila memang polisi memiliki target tertentu.

 

Baca juga : 18 Polisi Diduga Terlibat Pemerasan Penonton Konser DWP diperiksa

 

“Perlu diingat, razia semacam ini belum masuk ke penyelidikan ataupun penyidikan,” ujarnya.

Pelaksanaan tes urine, kata Chudry, diatur dalam Undang-Undang Narkotika dan peraturan Kapolri. Prosedurnya pun tidak boleh di tempat umum. “Jadi harus ada tempat khusus.”

Sementara Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Sekjen PBHI) Gina Sabrina menyatakan pemerasan yang melibatkan polisi ini merupakan bagian dari praktik korupsi yang terjadi di institusi kepolisian. Karena itu, bila memang terbukti terjadi pemerasan, pelaku harus dikenai sanksi etik dan pidana.

 

Gina berpendapat tes urine hanya bisa dilakukan dalam konteks penyidikan. Adapun unsur pertama adalah adanya dugaan tindak pidana, kemudian ditemukan penguasaan narkotik. Ketika dua unsur itu tidak terpenuhi, tes urine tak boleh dilakukan. “Tes urine yang dilakukan di konser DWP itu bertentangan dengan UU Narkotika karena tidak dalam konteks penyidikan,” katanya.

Pasal 75 huruf L Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang menyatakan penyidik BNN berwenang melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam deoksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lain untuk penyidikan.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sependapat dengan Gina. Menurut dia, penggeledahan untuk kasus narkotik hanya dalam konteks penyelidikan dan penyidikan. “Jadi harus ada bukti permulaan,” ucapnya. “Misalnya polisi mau menargetkan DWP. Nah, itu harus dalam konteks polisi tahu ada pembelian di sana.”

 

Jangan Lewatkan : Tak Pegang ‘SIMSA’, Senpi Polisi ‘ditarik’

Sedangkan tes urine yang dilakukan dalam upaya pencegahan, kata Maidina, tidak bisa dipaksakan. Orang bisa saja menolak menjalani tes urine bila tidak ada indikasi apa pun dalam penggunaan narkotik. “Enggak bisa dipaksa.”

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Mukti Juharsa enggan menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan tes urine. “Tanya ke Humas, ya,” ujarnya lewat aplikasi WhatsApp.

 

Begitu juga dengan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo. Hingga artikel ini ditulis, dia tidak menjawab panggilan telepon dan pesan yang dikirim ke nomor teleponnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *